Setiap orang pasti pernah marah, walaupun tentunya kadar kemarahan setiap orang berbeda-beda. Rasa marah yang dimiliki manusia merupakan hal yang wajar karena memang hal itu tabiat yang tidak mungkin bisa terlepas darinya. Sebagian orang bisa mengontrol dan menahan diri saat rasa marah menguasai dirinya, akan tetapi tidak sedikit pula dari mereka (atau bahkan kita sendiri) yang tidak bisa menahan diri saat rasa marah datang. Hal ini tentunya tidak terlepas dari hawa nafsu yang dimiliki oleh setiap orang yang selalu cenderung menuntut untuk dituruti dan sering kali memerintahkan kepada kejelekan. Akan tetapi hamba-hamba Allah Ta’ala yang mendapat taufik dan rahmatNya akan diberikan kemudahan untuk bisa mengendalikan hawa nafsunya, sehingga ketika rasa marah menghampirinya, ia pun bisa mengontrolnya dengan baik.
Navigasi
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai manusia yang paling mulia akhlaknya di muka bumi ini pun terkadang bisa marah, dalam sebuah Hadits beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أَرْضَى كَمَا يَرْضَى الْبَشَرُ وَأَغْضَبُ كَمَا يَغْضَبُ الْبَشَرُ
“Aku ini hanya manusia biasa, aku bisa senang sebagaimana manusia senang, dan aku bisa marah sebagaimana manusia marah.” (HR. Muslim: 6627)
Namun demikian, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling bisa menahan amarah dan hawa nafsunya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah akan marah dalam masalah-masalah yang menyangkut urusan pribadi beliau. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya akan marah apabila aturan-aturan agama Allah Ta’ala dilanggar. Kita telah mengetahui bersama, bagaimana dahulu perlakuan kasar orang-orang kafir Quraisy kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau mendakwahi mereka. Sebagian mereka tidak segan-segan untuk mencela, menghina, bahkan melempari beliau dengan batu dan kotoran. Namun demikian, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap saja bersabar dan bisa menahan amarahnya. Inilah salah satu akhlak mulia Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sepantasnya kita teladani.
Dahulu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa menasihatkan para Sahabatnya agar mereka bisa menahan amarah, karena menahan amarah merupakan salah satu kunci kebaikan. Diriwayatkan dari Sahabat Abu Hurairah rodhiyallohu ‘anhu, bahwasanya ada seorang laki-laki yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata:
أَوْصِنِيْ، قَالَ: لَا تَغْضَبْ، فَرَدَّدَ مِرَارًا، قَالَ: لَا تَغْضَبْ.
““Berilah saya nasihat.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Jangan marah.” Lalu Sahabat tersebut terus mengulang-ulang permintaanya tersebut, namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap menjawab, “Jangan marah.”” (HR. Bukhari: 6116)
Sebagian Ulama menjelaskan bahwa di dalam Hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melarang seseorang memiliki rasa marah, karena rasa marah itu merupakan salah satu tabiat manusia yang pasti ada. Dan dia tidak mungkin menolak rasa marah yang ada pada dirinya ini. Akan tetapi yang dimaksud Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataannya “لَا تَغْضَبْ” adalah kuasailah dirimu ketika muncul rasa marah.
Cara Menahan Amarah
Seseorang yang tidak bisa mengontrol rasa amarahnya seringkali menimbulkan perkara-perkara negatif, seperti keluarnya ucapan-ucapan kotor dan keji dari ucapannya. Tidak jarang pula hal itu dibarengi dengan perilaku kasar dan pengrusakan barang-barang yang ada di sekitarnya. Dan yang lebih parah lagi adalah kemarahan yang tidak terkendali sering kali menimbulkan permusuhan dan bahkan pemutusan tali silaturahmi di antara kaum Muslimin. Dan pada akhirnya, mereka pun akan menyesali perbuatan yang telah dilakukannya itu.
Agar hal ini tidak terjadi, maka seorang yang sedang diliputi kemarahan hendaknya melakukan beberapa hal yang bisa meredakan atau mengobati rasa amarahnya tersebut. Di antara hal-hal tersebut adalah:
1. Membaca ta’awwudz
Ketika rasa amarah dan emosi merasuk ke dalam diri seseorang maka hendaknya dia membaca ta’awwudz (أَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ), hal inilah yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita. Dikisahkan dalam sebuah Hadits, bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang laki-laki sedang marah besar, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنِّي لَأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ عَنْهُ الَّذِي يَجِدُ، لَوْ قَالَ: أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Sesungguhnya saya mengetahui sebuah kalimat yang seandainya seorang yang sedang marah mengucapkannya maka sungguh marahnya tersebut akan hilang, yaitu hendaknya (ketika sedang marah) dia mengucapkan (أَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ).” (HR. Bukhari: 3282)
2. Diam
Seorang yang sedang marah hendaknya diam (tidak bicara) agar dia terhindar dari perkataan-perkataan yang bisa merusak agamanya, baik itu berupa celaan, umpatan, hinaan, atau perkataan-perkataan keji lainnya. Dan jika hal ini sudah terlanjur keluar dari lisannya, maka akan timbul penyesalan dalam dirinya di kemudian hari.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ.
“Jika salah seorang dari kalian marah maka hendaknya dia diam.” (HR. Ahmad: 1/239 dan al-Bukhari dalam al-‘Adabul Mufrad: 245, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1375.)
3. Duduk atau berbaring
Jika posisi orang yang sedang marah itu berdiri maka hendaknya dia bersegera untuk duduk, dan jika dia dalam keadaan duduk maka hendaknya ia berbaring. Dan hal ini tentunya akan mengubah kondisi perasaannya (yang tadinya marah akan menjadi lebih tenang). Hal ini jugalah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ، فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ
“Jika salah satu dari kalian marah dan dia dalam keadaan berdiri maka duduklah, niscaya marahnya tersebut akan hilang, jika (rasa marahnya) belum hilang juga maka berbaringlah.” (HR. Abu Dawud: 4782)
4. Berwudhu
Jika hal-hal di atas belum juga mengobati rasa marahnya, maka hendaknya ia pergi untuk berwudhu, karena ketika dia menyibukkan dirinya dengan wudhu, dia akan melupakan rasa marahnya tersebut. Selain itu, wudhu juga bisa memadamkan rasa amarah yang sedang berkobar pada diri seseorang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْغَضَبَ مِنَ الشَّيْطَانِ،وَإِنَّ الشَّيْطَانَ خُلِقَ مِنَ النَّارِ،وَإِنَّمَا تُطْفَأُ النَّارُ بِالْمَاءِ،فَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Sesungguhnya marah itu dari setan, dan setan diciptakan dari api, dan sesungguhnya api itu bisa dipadamkan dengan air, maka jika salah satu dari kalian marah bersegeralah untuk berwudhu.” (HR. Abu Dawud: 4784)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa untuk menghilangkan rasa marah tidaklah sebatas pada cara-cara di atas. Seorang yang sedang marah juga bisa menghilangkan rasa marahnya tersebut dengan meninggalkan tempat di mana dia sedang marah, dan kebanyakan orang biasanya melakukan hal ini. Misalnya, ketika seseorang sedang marah sedangkan dia ada di dalam rumah, maka hendaknya dia bersegera keluar dari rumah tersebut agar dia bisa menghindari perkataan-perkataan keji yang bisa muncul setelahnya. (Syarh Arba’in an-Nawawi, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Daar ats-Tsuraya, ‘Unaizah, 1425 H, penjelasan Hadits yang ke-16, hal 208)
Keutamaan Menahan Amarah
Orang yang terbiasa mengikuti hawa nafsunya untuk melampiaskan rasa amarahnya, maka dia akan cenderung mempunyai akhlak buruk dalam dirinya. Dan tentu saja hal seperti ini dibenci oleh Allah dan RasulNya. Maka dari itu sudah seharusnya kita berusaha untuk bisa menghilangkan akhlak buruk ini agar bisa mendapatkan balasan keutamaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di antara keutamaan yang akan Allah berikan kepada hambaNya yang bisa menahan amarah dan menguasai dirinya ketika muncul rasa marah adalah:
- Digolongkan sebagai orang-orang yang bertaqwa kepada Allah.
Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan hal ini dalam firmanNya:١٣٣. وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
١٣٤. الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاء وَالضَّرَّاء وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa. (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 133-134)
Jika seseorang sudah memperoleh kasih sayang Allah Jalla Jalaluhu dan digolongkan ke dalam barisan orang-orang yang bertaqwa, maka tidak ada balasan yang pantas untuknya kecuali surga Allah. Dan dari ayat di atas, kita mengetahui bersama begitu besarnya pahala yang akan Allah berikan kepada hamba-hambaNya yang bisa menahan amarahnya. Dan tentunya setiap orang menginginkan untuk bisa meraih keutamaan ini.
Poin 2, dst hingga akhir dapat dibaca di Majalah adz-Dzakhiirah al-Islamiyyah, edisi 78, tahun 1433 / 2012.
Surabaya, 30 Rabi‘ul Awwal 1434 / 11 Februari 2013
Penulis: Mu’adz Mukhadasin