Hidup manusia terdiri dari kumpulan waktu-waktu. Setiap kegiatan dan peristiwa yang dilaluinya tidaklah bisa terlepas dari waktu. Maka dari itu, waktu sangatlah penting bagi manusia pada umumnya, terlebih lagi bagi seorang Muslim. Seorang Muslim yang baik akan senantiasa memandang bahwa setiap waktu yang dilakukannya merupakan ibadah.
Jika sebagian orang menjadikan “waktu adalah uang” sebagai moto hidupnya, maka seorang Muslim hendaknya menjadikan waktunya adalah ibadah. Hendaknya ia meniatkan setiap waktu yang dilaluinya untuk melakukan kegiatan yang diniatkan ibadah. Tatkala ia bekerja, maka niatkanlah untuk menafkahi anak dan istrinya. Dan tentu saja hal tersebut (menafkahi anak dan istri) merupakan ibadah yang mulia. Tatkala ia makan dan minum, serta kegiatan yang lainnya pun hendaknya ia niatkan juga untuk ibadah. Bahkan istirahatnya pun bisa bernilai ibadah jika ia niatkan agar nantinya bisa beribadah lebih maksimal lagi setelah dirinya beristirahat.
Waktu terus berjalan dan berlalu, dan tanpa terasa bulan mulia Ramadhan akan menghampiri kita. Namun, sudahkan ada peningkatan amal kebaikan kita dari bulan Ramadan tahun lalu hingga sekarang? Sudahkah ada perubahan ke arah yang lebih baik di dalam diri kita? Sudahkah kita benar-benar memanfaatkan bulan Ramadhan tahun lalu untuk memperbaiki diri?
Sebagian orang mungkin akan ada yang menjawab, “Alhamdulillah, sudah,” namun tidak sedikit pula yang akan menjawab, “Astaghfirullah, belum.” Bagi yang sudah, tentunya hal itu berkat anugerah yang Allah Ta’ala berikan kepadanya dan semoga ia bisa tetap istiqamah dalam kebaikan. Bagi yang belum, tentunya harus banyak-banyak berusaha untuk menjadi lebih baik dan introspeksi diri. Dan agar hal tersebut tidak terulang lagi, maka perlu sekiranya ia mengetahui betapa pentingnya memanfaatkan waktu yang dimilikinya. Ia harus tahu bahwa setiap waktu yang ia jalani di dunia ini kelak akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Memang pada kenyataannya, kebanyakan dari kita cenderung lalai tatkala diberikan nikmat kesehatan dan waktu luang. Di kala sehat dan memiliki banyak waktu sering kali rasa malas dan acuh tak acuh dalam melakukan ibadah menghampiri diri kita. Barulah ketika sakit menimpa, rasa penyesalan datang dan saat itu biasanya kita akan sadar serta berpikir bahwa waktu itu amatlah berharga.
(Baca juga: Doa Menghilangkan Rasa Malas)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah menjelaskan mengenai hal ini di dalam sabdanya:
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Dua hal yang banyak orang tertipu di dalamnya, yaitu kesehatan dan waktu luang.”
(HR Al-Bukhari, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahihul Jami’, no. 6778.)
Dalam hadits tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepada kita bahwa kebanyakan dari kita sering kali akan tertipu dan lalai jika dalam keadaan sehat dan memiliki banyak waktu. Tertipu di sini maksudnya adalah menyia-nyiakan waktu dan kesempatan yang ada dengan melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat bagi akhiratnya serta terlalu menyibukkan diri dengan perkara dunia. Bahkan ada yang lalai dan tidak mengerjakan kewajiban-kewajibannya sebagai seorang Muslim. Jika demikian, maka kerugian dan penyesalanlah yang akan ia dapatkan di akhirat kelak.
Lihatlah bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam menjaga waktu dan memanfaatkannya untuk beribadah kepada Allah, beliau juga mengajarkan hal tersebut kepada para keluarganya.
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah bercerita bahwa:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ أَحْيَا اللَّيْلَ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ، وَجَدَّ، وَشَدَّ الْمِئْزَرَ
“Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala memasuki sepuluh hari (yaitu sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan), beliau menghidupkan malamnya (dengan beribadah), membangunkan keluarganya, bersungguh-sungguh di dalamnya, dan beliau mengencangkan ikat pinggangnya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Jika kita amati, maka kita akan temui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan pribadi yang tidak pernah menyia-nyiakan waktunya. Setiap waktu yang ada pasti akan dimanfaatkan untuk kebaikan dan bernilai ibadah di sisiNya. Kewajiban beliau dalam menafkahi keluarga pun tetap beliau lakukan tanpa harus melalaikan kewajibannya terhadap Allah. Beliau sering kali mengajarkan kepada para sahabatnya agar tidak tertipu dengan dunia, yaitu dengan terus-menerus mengejar harta benda hingga melalaikan amal shalih, karena harta benda tidak akan dibawa mati, sedangkan amal shalih akan tetap dibawanya walaupun seseorang telah mati. Inilah sebaik-baik teladan bagi setiap orang yang mendambakan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Setiap Muslim harus memanfaatkan waktu yang dimilikinya dengan sebaik-baiknya. Tidak boleh baginya untuk menyia-nyiakan waktunya hanya untuk bersenang-senang di dunia ini. Dia harus tahu bahwa setiap waktu yang dimilikinya di dunia ini pasti akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah Ta’ala kelak di hari kiamat. Dan setiap yang dilakukannya tidak akan ada yang luput dari pengawasanNya.
Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَزُوْلُ قَدَمَا ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ عَنْ عُمْرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيْمَا أَبْلَاهُ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَا أَنْفَقَهُ وَمَاذَا عَمِلَ فِيْمَا عَلِمَ
“Tidak akan bergeser kedua kaki anak Adam di hari kiamat dari sisi Rabb-nya, hingga dia ditanya tentang lima perkara (yaitu): tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang masa mudanya untuk apa ia gunakan, tentang hartanya dari mana ia dapatkan dan dalam hal apa (hartanya tersebut) ia belanjakan, serta apa saja yang telah ia perbuat dari ilmu yang dimilikinya.”
(HR At-Tirmidzi dan Ath-Thabrani. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Ashahihah, no. 946.)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan kepada kita untuk benar-benar mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk bisa menggapai surga Allah Ta’ala. Hal itu karena surga Allah itu sangat mahal, tidak akan bisa diraih dengan bersantai ria dan bermalas-malasan dalam beribadah. Tidak bisa pula diraih oleh orang-orang yang gemar menyia-nyiakan waktu dan umur yang diberikan Allah kepadanya.
Di dalam Al-Quran pun dijelaskan dengan tegas mengenai pentingnya menjaga waktu, sampai-sampai Allah pun bersumpah dengannya. Allah juga menegaskan bahwa manusia sejatinya dalam kerugian yang besar. Namun kerugian tersebut tidaklah dialami oleh mereka yang menggunakan waktunya untuk beramal shalih dan saling menasihati dalam kebaikan dan kesabaran. FirmanNya:
وَالْعَصْرِ، إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ، إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shalih, serta nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS Al-‘Ashr [103]: 1-3)
Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk golongan orang-orang yang bisa memanfaatkan waktu hidup di dunia ini dengan sebaik-baiknya, yaitu untuk beribadah kepadaNya. Kita juga memohon kepada Allah agar dijauhkan dari sifat lalai dan malas dalam melakukan ketaatan.
Semoga pula Allah Ta’ala memberikan kesempatan kepada kita agar bisa berjumpa dengan bulan Ramadhan yang penuh dengan kemuliaan, bulan yang ditunggu-tunggu oleh setiap hamba Allah yang bertakwa, bulan suci yang mana Al-Quran turun di dalamnya, dan bulan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala janjikan di dalamnya ampunan yang sebesar-besarnya bagi mereka yang mau bersimpuh bertaubat kepadaNya. Aamiin.
Referensi:
– Shahihul Jami’, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
– Ad-Durus Al-Yaumiyyah, Syaikh Dr. Rasyid bin Husain Al-‘Abdul Karim
– Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Artikel ini juga dimuat di dalam Buletin Al-Ilmu edisi 36, yang diterbitkan oleh Yayasan Pendidikan Islam Imam Syafi’i, Berau, Kalimantan Timur.
Oleh: Muadz Mukhadasin
Artikel: www.muadz.com