Setiap manusia di dunia ini tidak pernah luput dari berbagai macam musibah dan cobaan, karena hal itu merupakan sunnatullah yang pasti berlaku bagi setiap manusia. Musibah dan cobaan yang Allah berikan kepada manusia adalah sebagai ujian baginya, apakah ia termasuk orang-orang yang bersyukur dan sabar, ataukah justru termasuk orang-orang yang kufur dan berputus asa. Kelak setiap manusia akan dikembalikan kepada Allah untuk dimintai pertanggungjawaban olehNya berkaitan dengan bagaimana sikapnya ketika menghadapi ujian atau cobaan dalam hidupnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati, Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan
Sikap Seorang Muslim Ketika Musibah Menimpanya
Seorang muslim yang beriman harus senantiasa yakin bahwasanya segala macam bentuk musibah dan cobaan yang terjadi dalam hidupnya itu merupakan takdir dan ketentuan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan hendaknya ia yakin pula bahwa segala ketetapan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berlakukan untuk dirinya maka itu adalah yang terbaik baginya. Apabila seorang hamba mempunyai keyakinan seperti ini maka Allah akan memberikan balasan kebaikan kepada dirinya yang berupa ketenangan hati, kesabaran dan ketabahan dalam jiwa, bahkan Allah akan memberikan ganti atas musibah tersebut dengan yang lebih baik. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَن يُؤْمِن بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. at-Taghabun [64]: 11)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah memberikan penjelasan mengenai makna ayat di atas:
“Barangsiapa yang ditimpa suatu musibah dan dia meyakini bahwa musibah itu merupakan ketentuan dan takdir dari Allah, kemudian dia sabar dan berharap (balasan pahala dari Allah), disertai dengan perasaan tunduk terhadap takdir yang Allah tetapkan kepadanya, maka Allah akan memberikan petunjuk ke dalam hatinya, dan mengganti apa yang telah luput darinya dari perkara dunia dengan petunjuk dan keyakinan yang benar dalam hati, bahkan Allah akan mengganti apa yang telah hilang darinya dengan yang lebih baik baginya.” [Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir, cet. Darul Ma’rifah hal. 639]
Dari penjelasan di atas kita juga bisa mengambil kesimpulan bahwa sikap yang benar bagi seorang muslim ketika ditimpa musibah yaitu ia harus senantiasa sabar, ridha, dan mengharap pahala dari Allah dari musibah yang menimpanya. Dan tidak diperbolehkan bagi seorang muslim yang ditimpa musibah untuk mencela takdir Allah, mengeluh, atau bahkan stres dan berputus asa, serta berburuk sangka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena musibah atau cobaan hidup tersebut pada dasarnya tidak hanya menimpa dirinya sendiri, tetapi juga menimpa seluruh manusia di dunia ini, baik yang kaya atau miskin, yang tua maupun yang muda. Namun hanya orang-orang yang bersabarlah yang akan mendapatkan pahala dan keberuntungan dari Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوفْ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan, dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. al-Baqarah [2]: 155)
Hikmah Dibalik Musibah
1. Musibah merupakan tolak ukur bagi keimanan seorang muslim
Cobaan serta ujian yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan merupakan sebuah barometer bagi keimanan seseorang. Semakin tinggi iman sesorang, maka akan semakin berat cobaan dan ujian yang akan menimpanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَشَدُّ النَّاسِ بَلاَءً الأَنْبِيَاءُ، ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ، يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِيْنِهِ، فَإِنْ كَانَ دِيْنُهُ صَلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِيْ دِيْنِهِ رِقَّةٌ اُبْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِيْنِهِ، فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيْئَةٌ.
“Orang yang paling berat ujiannya adalah para Nabi, kemudian yang semisal dengan mereka dan yang seperti mereka. Seseorang diuji berdasarkan kadar agamanya, jika agamanya kuat maka semakin keras ujiannya, dan jika agamanya lemah maka ia diuji berdasarkan kadar agamanya tersebut. Dan ujian senantiasa menimpa seorang hamba hingga meninggalkannya berjalan di atas bumi tanpa ada sebuah dosa sedikitpun”. (HR. Ahmad, al-Bukhari, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan yang lainnya)
2. Musibah merupakan tanda kebaikan bagi seorang muslim
Musibah dan cobaan yang menimpa orang-orang yang beriman juga merupakan suatu tanda kebaikan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepadanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا، وَإِذَا أَرَادَ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَافِيَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Apabila Allah menghendaki kebaikan pada diri seorang hamba maka Allah akan menyegerakan hukuman baginya di dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan bagi hamba-Nya maka Allah akan menunda hukuman atas dosanya itu sampai pada hari kiamat nanti hukuman itu baru akan ditunaikan.” (HR. at-Tirmidzi no. 2396 dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu).
Setelah memahami hadits di atas maka sudah selayaknya bagi setiap orang agar senantiasa khawatir dan mawas diri dengan kenikmatan dan kesehatan yang selama ini Allah berikan kepadanya. Karena bisa jadi hal itu merupakan istidraj (bentuk penundaan hukuman) atas dosa dan maksiat yang selama ini ia lakukan. Wal ‘iyyadzu billah.
3. Musibah merupakan penghapus dosa-dosa
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga akan menghapus dosa-dosa seorang hamba dari musibah yang dialaminya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ مُصِيبَةٍ تُصِيبُ الْمُؤْمِنَ إِلَّا كُفِّرَ بِهَا عَنْهُ حَتَّى الشَّوْكَةُ يُشَاكُهَا.
“Tidaklah seorang muslim mendapatkan musibah, melainkan Allah akan akan menghapus dosa-dosanya, walau hanya tertusuk duri sekalipun.” (HR. al-Bukhari).
Setelah kita memahami sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, maka tidak ada pilihan lain dalam menghadapi musibah kecuali sikap sabar, ridha dan mengharap pahala dari Allah serta mengharap dihapusnya dosa-dosa dari diri kita dengan musibah tersebut. Dan tetaplah yakin bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala itu Maha Penyayang dan Maha Adil, Dia tidak akan menguji hambaNya di luar batas kemampuannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya, ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (QS. al-Baqarah [2]: 286)
4. Musibah merupakan tanda kecintaan Allah kepada hambaNya
Hikmah lain yang bisa kita petik dari musibah yaitu bahwasanya ketika seorang hamba tertimpa suatu musibah maka ini bisa jadi adalah sebuah tanda bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintai hamba tersebut. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam bersabda:
عِظَمُ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ، وَإِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْماً ابْتَلاَهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَى، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ.
“Sesungguhnya besarnya balasan sesuai dengan besarnya cobaan. Dan sesungguhnya Allah jika Ia mencintai suatu kaum maka Allah akan menguji/menimpakan pada mereka musibah, barangsiapa yang ridha (atas musibah tersebut) maka baginya ridha Allah, dan barangsiapa yang marah terhadap musibah dari Allah maka baginya murka Allah.” (HR. Ibnu Majah no. 4031, at-Tirmidzi no. 2396)
Cara Menghadapi Musibah
Musibah yang menimpa kita sering kali terjadi di saat-saat yang tidak terduga, dan rasa sedih pun terkadang senantiasa meliputi kita. Namun agar musibah yang menimpa kita bisa berbuah menjadi pahala, maka hendaknya kita melakukan beberapa hal berikut:
1. Mengucapkan kalimat istirja’
yaitu ucapan: Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un, dan ucapan ini tidaklah hanya diucapkan ketika ada orang meninggal dunia saja (seperti yang dipahami oleh kebanyakan orang), akan tetapi hendaknya diucapkan setiap kali kita mendapatkan musibah baik itu besar maupun kecil. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعونَ
“(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepadaNya-lah kami kembali)”. (QS. al-Baqarah [2]: 156)
2. Membaca do’a yang telah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Setelah mengucapkan kalimat istirja’, maka hendaknya seorang muslim yang tertimpa musibah mengucapkan doa yang telah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu:
اَللَّهُمَّ اْجُرْنِيْ فِي مُصِيْبَتِيْ وَأَخْلِفْ لِيْ خَيْرًا مِنْهَا.
“Ya Allah, berikanlah pahala kepadaku dalam musibahku, dan gantikanlah untuku dengan yang lebih baik darinya.” (HR. Muslim).
3. Bersabar dan melakukan muhasabah (instropeksi diri)
Mungkin musibah yang menimpa diri kita itu disebabkan oleh dosa dan maksiat yang kita lakukan, maka dari itu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan kita dari perbuatan tersebut dengan menimpakan musibah, hal ini tentunya dengan harapan agar kita segera bertaubat kepadaNya. Karena sering kali sesorang baru akan sadar dengan dosa dan kesalahannya ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menimpakan suatu musibah kepadanya.
Demikianlah sekilas tentang sikap yang benar bagi seorang muslim tatkala musibah menimpanya, dan yang penting pula untuk diperhatikan yaitu hendaknya kita senantisa berbaik sangka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas ketentuan takdir yang telah Allah tetapkan kepada kita.
Jangan sampai keluar sedikitpun perkataan atau perbuatan yang menunjukan sikap tidak ridha terhadap ketentuan Allah tersebut, karena hal ini justru akan mendatangkan murka dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. semoga kita dijadikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai hamba-hambaNya yang senantiasa bersabar, ridha, dan teguh dalam menghadapi musibah.
Penulis: Mu’adz Mukhadasin
(Artikel ini juga dimuat di Buletin al-Iman yang diterbitkan oleh Forum Komunikasi Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam [STAI] Ali bin Abi Thalib Surabaya pada edisi 66 tahun ke-2)
assalamualaikum akh muadz..Tulisannya maa sya alloh..ana izin copas ya..ana hamzan..
Wa’alaikumsalam, silakan akhil karim. Barakallahufiik
Bismillah. Bolehkah artikelnya ana(JUNI) buat audio syaikh muadz?
Silakan, akhi
Assalamualaikum akhi, Muaz,
Terima kasih atas artikel yg sangat baik ini..izinkan akak gunakannya ya.