Di antara karakteristik agama Islam adalah bahwasanya Islam menghendaki kemudahan bagi pengikut-pengikutnya. Allah Ta’ala berfirman:
يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS Al-Baqarah [2]: 185)
Di antara contoh kemudahan yang Allah Ta’ala berikan kepada hamba-hambaNya dalam ibadah salat adalah adanya syariat untuk menjamak salat.
Pengertian Salat Jamak
Para ulama menjelaskan bahwa salat jamak adalah perbuatan seseorang yang mengerjakan salat dengan menggabungkan antara 2 (dua) salat wajib dalam 1 (satu) waktu, baik itu menggabungkannya di waktu salat yang pertama (jamak takdim) maupun di waktu salat yang kedua (jamak takhir). Dan salat wajib yang boleh dijamak adalah salat Zuhur dengan salat Asar, dan salat Magrib dengan salat Isya. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27/287)
Sebab-Sebab Diperbolehkannya Menjamak Salat dan Tata Caranya
Pada asalnya, salat itu harus dilakukan sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan oleh syariat. Namun, ada beberapa kondisi dan alasan syari yang menyebabkan seseorang boleh untuk menjamak salatnya sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Dr. Abdul Azhim Badawi dalam kitab beliau al-Wajiz fi Fiqhi as-Sunnah wa al-Kitab al-Aziz halaman 173-176, berikut penjelasan beliau:
1. Saat safar atau berpergian
Saat seseorang hendak berpergian, maka diperbolehkan baginya untuk menjamak salat. Adapun dalil dan tata caranya adalah sebagaimana dijelaskan dalam hadis-hadis berikut ini.
Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم إذا ارتحَل قبْلَ أنْ تزيغَ الشَّمسُ أخَّر الظُّهرَ إلى وقتِ العصرِ ثمَّ نزَل فجمَع بَيْنَهما وإذا زاغَتْ الشَّمسُ قبْلَ أنْ يرتحِلَ صلَّى الظُّهرَ ثمَّ رَكِبَ
“Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila berpergian sebelum matahari tergelincir, beliau mengakhirkan pelaksanaan salat Zuhur ke waktu salat Asar. Kemudian beliau singgah dan menjamak (menggabungkan) salat Zuhur dengan salah Asar. Dan apabila matahari telah tergelincir sebelum beliau berpergian, maka beliau salat Zuhur terlebih dahulu kemudian setelah itu berangkat.” (Muttafaqun alahi)
Dari sahabat Muadz bin Jabal rahdhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم كان في غَزْوَةِ تَبُوكَ، إذا ارْتَحَلَ قَبْلَ زَيْغِ الشَّمسِ، أخَّرَ الظُّهرِ حَتَّى يَجمَعَها إلى العَصْرِ، فيُصلِّيهُما جمِيعًا، وإذا ارْتَحَلَ بعدَ زَيْغِ الشَّمسِ، صَلَّى الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جميعًا، ثُم سارَ. وكانَ إذا ارْتَحَلَ قَبلَ المغرِبِ، أخَّرَ المغرِبَ حتى يُصلِّيها مع العِشاءِ، وإذا ارْتَحَلَ بعدَ المغرِبِ عَجَّلَ العِشاءَ فصلَّاها مع المغرِبِ
“Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat di Perang Tabuk, apabila beliau hendak berpergian sebelum matahari tergelincir, beliau mengakhirkan salat Zuhur hingga menggabungkannya ke salat Asar, lalu menjamak keduanya. Apabila berbergian setelah matahari tergelincir, beliau salat Zuhur dan Asar dengan menjamaknya, baru kemudian berangkat. Dan apabila berpergian sebelum Magrib beliau mengakhirkan salat Magrib sampai mengerjakannya dengan salat Isya. Apabila beliau berpergian setelah Magrib, maka beliau menyegerakan salat Isya, yaitu mengerjakannya dengan menggabungkannya dengan salat Magrib.” (Hadis shahih diriwayatkan oleh Imam at-Tirmizi, Abu Dawud, Ahmad)
2. Saat hujan
Di saat turun hujan, kita diperbolehkan juga untuk menjamak salat. Di antara dalil yang membolehkan hal tersebut adalah bahwasanya hal tersebut dilakukan di kota Madinah pada zaman para Sahabat dan Tabi’in, dan saat itu para Sahabat dan Tabi’in tidak mengingkarinya. Diriwayatkan oleh Imam Malik, atsar dari Nafi’, yang mana beliau berkata:
أنَّ عَبْد اللَّهِ بنَ عُمرَ كان إذا جَمَعَ الأُمَرَاءُ بين المغربِ والعِشاءِ في المطرِ جمَعَ معهم
“Dahulu sahabat Abdullah bin Umar, apabila para pemimpin menjamak salat Magrib dan Isya saat turun hujan, beliau ikut menjamak salat bersama mereka.” (Al-Muwatha’, 1/145)
Dalil berikutnya adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh salah seorang Tabi’in yang bernama Hisyam bin Urwah. Dijelaskan bahwa ayah beliau, Urwah, dan juga Said bin al-Musayyab serta Abu Bakar bin Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam bin al-Mughirah al-Makhzumi, dahulu mereka pernah menjamak salat Maghrib dan Isya di malam hari saat turun hujan, saat mereka menjamak kedua salat tersebut, tidak ada pengingkaran dari yang lainnya. (Sanad riwayat ini shahih, disebutkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwa al-Ghalil, 3/40)
Terdapat juga Riwayat dari Musa bin Uqbah, beliau menjelaskan bahwa:
أن عمر بن عبد العزيز كان يجمع بين المغرب والعشاء الآخرة إذا كان المطر، وأن سعيد بن المسيب، وعروة بن الزبير، وأبا بكر بن عبد الرحمن، ومشيخة ذلك الزمان كانوا يصلون معهم ولا ينكرون ذلك
“Dahulu Umar bin Abdul Aziz menjamak antara salat Maghrib dengan salat Isya apabila turun hujan. Dan sungguh Said bin al-Musayyab, Urwah bin az-Zubari, Abu Bakar bin Abdurrahman, serta para ulama di zaman tersebut juga salat bersama mereka, dan tidak ada yang mengingkarinya.” (Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwa al-Ghalil, 3/40)
Di antara dalil yang dibawakan oleh para ulama terkait bolehnya menjamak salat saat turun hujan adalah hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:
صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا، وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا سَفَرٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah salat Zuhur dan Asar dengan cara dijamak, pernah juga salat Magrib dan Isya dengan cara dijamak dan itu semua bukan karena kondisi takut, maupun kondisi safar.” (HR Muslim)
Di riwayat yang lainnya beliau juga berkata:
جمعَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ بينَ الظُّهرِ والعصرِ والمغربِ والعشاءِ بالمدينةِ من غيرِ خوفٍ ولا مطرٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjamak antara salat Zuhur dengan Asar, Magrib dengan Isya di kota Madinah bukan dalam kondisi takut atau pun hujan.” (HR Abu Dawud dan Muslim)
Ketika menjelaskan hadis tersebut, Syaikh Al-Albani rahimahullah mengatakan:
وهو يشعر أن الجمع للمطر كان معروفا في عهد النبي صلى الله عليه وسلم، ولو لم يكن كذلك لما كان ثمة فائدة من نفى المطر كسبب مبرر للجمع
“Riwayat tersebut mengisyaratkan bahwa menjamak salat saat turun hujan sudah dikenal di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila tidak, maka tentu tidak ada manfaatnya adanya pengingkaran hujan (di hadis tersebut) sebagai sebab bolehnya menjamak salat.” (Irwa al-Ghalil, 3/40)
3. Saat Ada Keperluan yang Sifatnya Sesekali Saja
Kita dibolehkan menjamak salat apabila ada keperluan atau kebutuhan, namun sifatnya hanya boleh dilakukan sesekali saja, bukan dijadikan sebagai kebiasaan yang terus menerus.
Di antara dalil yang digunakan oleh para ulama tatkala membolehkan hal tersebut adalah hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, yang mana beliau berkata:
جمعَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ بينَ الظُّهرِ والعصرِ والمغربِ والعشاءِ بالمدينةِ من غيرِ خوفٍ ولا مطرٍ. قِيلَ لابنِ عبَّاسٍ: ما أرادَ إلى ذلِك؟ قالَ: أرادَ أن لا يُحْرِجَ أمَّتَهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjamak antara salat Zuhur dengan Asar, Magrib dengan Isya di kota Madinah bukan dalam kondisi takut atau pun hujan. Kemudian ditanyakan kepada Ibnu Abbas, ‘Apa yang maksud dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut?’, maka beliau menjawab, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ingin memberatkan umatnya’.” (HR Abu Dawud dan Muslim)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan maksud dari hadis tersebut dalam kitab beliau Syarh Muslim (5/219), beliau berkata:
وَذَهَبَ جَمَاعَةٌ مِنْ الْأَئِمَّةِ إِلَى جَوَازِ الْجَمْع فِي الْحَضَر لِلْحَاجَةِ لِمَنْ لَا يَتَّخِذهُ عَادَة، وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ سِيرِينَ وَأَشْهَبَ مِنْ أَصْحَاب مَالِك، وَحَكَاهُ الْخَطَّابِيُّ عَنِ الْقَفَّال وَالشَّاشِيّ الْكَبِير مِنْ أَصْحَاب الشَّافِعِيّ عَنْ أَبِي إِسْحَاق الْمَرْوَزِيِّ عَنْ جَمَاعَةٍ مِنْ أَصْحَاب الْحَدِيث، وَاخْتَارَهُ ابْنُ الْمُنْذِر وَيُؤَيِّدُهُ ظَاهِرُ قَوْلِ ابْن عَبَّاس: أَرَادَ أَلَّا يُحْرِج أُمَّتَهُ، فَلَمْ يُعَلِّلهُ بِمَرَضٍ وَلَا غَيْره، وَاللَّهُ أَعْلَم
“Para ulama telah berpendapat akan bolehnya seseorang menjamak salat dalam kondisi tidak berpergian apabila memang ada keperluan dan ia tidak menjadikannya sebagai kebiasaan. Ini merupakan pendapat dari Ibnu Sirin dan Asyhab dari kalangan ulama Malikiyyah. Disampaikan pula oleh al-Khattabi dari al-Qaffal dan asy-Syasyi al-Kabir dari kalangan ulama Syafi’iyyah, dari Abu Ishaq al-Marwazi, dari sekelompok ulama hadis, dan dipilih oleh Ibnu al-Mudzir. Dan hal ini diperkuat dengan ucapan Ibnu Abbas, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ingin memberatkan umatnya”. Di dalam dalam ucapan tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menerangkan alasan (bolehnya menjamak salat) dengan sebab sakit atau yang lainnya, wallahu a’lam.”
Dari penjelasan di atas kita bisa mengetahui sebab-sebab apa saja yang membolehkan kita untuk menjamak salat, karena hukum asalnya salat itu dikerjakan sesuai dengan waktunya masing-masing. Dari hadis-hadis yang disebutkan di atas kita juga bisa mengetahui bagaimana tata cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menjamak salat. Semoga kita dimudahkan untuk mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh: Muadz Mukhadasin, M.Pd.
Artikel: www.muadz.com