Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan tentang keutamaan ilmu di beberapa ayat yang ada di dalam al-Quran. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mengangkat derajat orang-orang yang berilmu. FirmanNya:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Mujadilah [58]: 11)
Di dalam hadits-haditsnya yang shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan tentang keutamaan ilmu dan keutamaan orang-orang yang berlimu. Dan tentu saja ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu agama, bukan yang lainnya.
Begitu mulianya ilmu agama sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa orang yang menuntut ilmu agama akan dimudahkan jalannya menuju surga Allah yang penuh dengan kenikmatan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR Muslim)
Ilmu yang dimiliki oleh seseorang juga akan menjadi amal kebaikan yang pahalanya tidak akan terputus walaupun dirinya sudah meninggal dunia. Namun, ilmu yang dimaksud di sini tentunya bukanlah sekedar ilmu, ilmu yang bisa menghasilakan pahala yang mengalir terus menerus kepada pemiliknya walaupun pemiliknya tersebut sudah meninggal dunia adalah ilmu yang bermanfaat.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلا مِنْ ثَلاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seorang manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah seluruh amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya.” (HR Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai, Ibnu Majah, dan AHmad)
Begitu besarnya keutamaan ilmu sehingga bisa menjadikan pemiliknya panen pahala walaupaun dirinya telah meninggal dunia. Hal ini tentu saja menjadi harapan bagi setiap muslim dan muslimah.
Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah di dalam kitab Hilyah Thalibil Ilmi menyebutkan beberapa tanda-tanda ilmu yang bermanfaat. Beliau menjelaskan bahwa ilmu dikatakan bermanfaat apabila pemiliknya memiliki tanda-tanda serta kriteria-kriteria sebagai berikut:
1. Mengamalkannya.
Ketika kita mengetahui suatu ilmu, maka kita ditekankan untuk mengamalkannya. Amal merupakan buah dari ilmu yang kita miliki. Ilmu akan bermanfaat jika diamalkan, namun ilmu justru akan berbahaya jika pemiliknya tidak mengamalkannya.
Para ulama menjelaskan bahwa orang yang memiliki ilmu itu ibarat seseorang yang memiliki senjata. Kita ketahui bahwa orang yang memiliki senjata bisa memanfaatkan senjatanya tersebut untuk menghadapi musuhnya, namun di sisi lain tentu saja senjata tersebut juga bisa berbalik mengenai dirinya sendiri.
Maka dari itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ
“Al-Quran itu bisa menjadi pembelamu dan musuh bagimu.” (HR Muslim)
Sebagaimana al-Quran, ilmu pun bisa menjadi pembela sekaligus bisa menjadi musuh bagi pemiliknya. Akan menjadi pembela tatkala ilmu itu diamalkan, dan menjadi musuh (bumerang) bagi pemiliknya tatkala ilmu tersebut tidak diamalkan.
Seseorang yang memiliki ilmu kelak di hari akhirat juga akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَزُوْلُ قَدَمَا ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ
“Tidak akan bergeser kedua kaki anak Adam di hari kiamat dari sisi RabbNya, hingga dia ditanya tentang lima perkara….”
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan yang kelima, yaitu:
وَمَاذَا عَمِلَ فِيْمَا عَلِمَ
“Dan apa saja yang telah ia amalkan dari ilmu yang dimilikinya.” (HR at-Tirmidzi, ath-Thabrani, dan hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no. 946)
2. Tidak suka dipuji, serta tidak bersikap sombong terhadap orang lain.
Sebagian orang sering kali tertimpa penyakit hati yang namanya suka dipuji dan suka disanjung. Pujian dan sanjungan dari orang lain tidak jarang membuat seseorang akan merasa di atas angin dan akhirnya sifat sombong pun pelan-pelan merasuki dirinya.
Seseorang yang memiliki sifat tinggi hati (sombong) tidak akan pernah bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Hal itu karena ilmu akan berpaling darinya dan menjadi musuh baginya sebagaimana air akan berpaling dan menjadi musuh bagi tempat yg tinggi.
Seorang pepatah mengatakan:
الْعِلْمُ حَرْبٌ لِلْفَتَى الْمُتَعَالِي كَالسَّيْلِ حَرْبٌ لِلْمَكانِ الْعَالِي
Ilmu itu akan menjadi musuh bagi pemuda yang tinggi hati (sombong)
Sebagaimana aliran air yang menjadi musuh bagi tempat yang tinggi
Sifat sombong merupakan sifat yang sangat tercela, bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam orang yang sombong dengan neraka. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak akan masuk sugra orang yang di dalam hatinya terdapat sifat sombong (walaupun) sebesar biji sawi.” (HR Muslim)
3. Semakin tawadhu (rendah hati) setiap kali ilmunya bertambah.
Inilah sifat yang seharusnya dimiliki oleh setiap penuntut ilmu. Jadi setiap ilmu yang dimilikinya bertambah, maka akan bertambah pula sifat tawadhunya. Jika sifat tawadhu ada pada dirinya, maka otomatis ia akan beci terhadap kesombongan.
Seseorang yang memiliki sifat tawadhu niscaya akan diangkat derajatnya oleh Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘aliahi wa sallam bersabda:
وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ
“Dan tidaklah seseorang bersikap tawadhu karena (mengharap ridha) Allah kecuali Allah akan mengangkat (derajatnya).” (HR Muslim)
4. Menjauhkan dirinya dari cinta kedudukan, popularitas (ketenaran), dan keduniaan.
Cinta kedudukan, cinta popularitas, dan cinta dunia merupakan penyakit berbahaya yang harus dijauhkan sejauh-jauhnya oleh setiap orang terutama para penuntut ilmu. Karena ketiga penyakit tersebut dapat merusak keikhlasan seseorang dan dapat menghanguskan pahala ilmu.
Para ahli ilmu mengatakan:
حُبُّ الظُّهُوْرِ يَقْصِمُ الظُّهُوْرَ
“Cinta ketenaran (popularitas) itu membinasakan”
Ketika seseorang dihinggapi sifat cinta kedudukan, popularitas, dan dunia, maka ilmu yang dimilikinya tidak akan bermanfaat. Bahkan orang tersebut terancam sabda Nabi shallallahu ‘aliahi wa sallam yang berbunyi:
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ، لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا، لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang mempelajari suatu ilmu yang seharusnya ditujukan hanya untuk mengharap wajah Allah, namun dia tidaklah mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan bagian dari dunia, maka dia tidak akan mendapatkan bau surga.” (HR Abu Dawud dengan sanad shahih)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkan bahwa salah satu golongan yang pertama kali akan diadili dan diseret ke dalam api neraka kelak di hari kiamat adalah orang-orang yang diberi kesempatan untuk menuntut ilmu dan mengajarkannya, yang mana seharusnya dia niatkan semua itu ikhlas untuk mengharap ridha Allah, namun ternyata dia niatkan hal tersebut hanya untuk mendapatkan kedudukan di hadapn manusia, jabatan, pujian, dan harta. Maka Allah Ta’ala memerintahkan malaikat untuk menyeret dan melemparkannya ke dalam api neraka. Na’udzubillahi min dzalik
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ، رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ جَرِيْءٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ
وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيْكَ الْقُرْآنَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ، وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ
“Sesungguhnya manusia yang pertama kali akan diadili pada hari kiamat adalah seorang yang mati syahid. Dia didatangkan dan diperlihatkan nikmat-nikmat yang pernah diberikan kepadanya, dan dia pun mengakuinya. Kemudian setelah itu ditanyakan kepadanya: “Apa yang telah kamu lakukan dengan nikmat-nikmat tersebut?” Dia pun menjawab: “Aku berperang kerena Engaku, hingga aku mati syahid.” Allah berfirman: “Kamu dusta! Akan tetapi kamu berjuang supaya kamu dikatakan sebagai seorang pemberani dan orang-orang telah mengatakan hal itu.” Maka (malaikat) diperintahkan untuk menyeret muka orang tersebut hingga dilemparkan ke dalam api neraka.
Berikutnya (orang yang diadili) adalah orang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya, serta membaca al-Quran. ia didatangkan dan diperlihatkan nikmat-nikmat yang pernah diberikan kepadanya, dan dia pun mengakuinya. Kemudian setelah itu ditanyakan kepadanya: “Apa yang telah kamu lakukan dengan nikmat-nikmat tersebut?” Dia pun menjawab: “Aku mempelajari ilmu dan aku mengajarkannya, aku juga membaca al-Quran hanya karenaMu.” Maka Allah berfirman: “Kamu dusta! Akan tetapi kamu mempelajari ilmu dan mengajarkannya melainkan agar disebut sebagai orang yang alim, dan kamu membaca al-Quran agar kamu disebut sebagai seorang Qari’. Dan orang-orang telah mengatakan hal itu.” Kemudian (malaikat) diperintahkan untuk menyeret muka orang tersebut hingga dilemparkan ke dalam api neraka…..” (HR Muslim no. 1905 dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Hadits-hadits tersebut setidaknya cukup menjadi nasihat bagi setiap penuntut ilmu agar menghindari sifat cinta kedudukan, cinta popularitas (ketenaran), dan cinta dunia.
5. Tidak mengklaim (mengaku-ngaku) dirinya berilmu.
Seorang yang benar-benar berilmu tidak akan mengaku-ngaku atau mengklaim bahwa dirinya itu berilmu. Karena orang yang suka mengklaim dirinya itu berilmu sejatinya adalah orang yang bodoh. Orang yang berilmu akan senantiasa bersikap tawadhu dan tidak sombong dengan ilmu yang dimilikinya.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan:
وَاعْلَمْ أَنَّ مَنِ ادَّعَى الْعِلْمَ فَهُوَ الْجَاهِلُ
“Ketahuilah bahwasanya orang yang suka mengaku-ngaku dirinya itu berilmu, maka sesungguhnya dia adalah orang yang bodoh.” (Lihat Syarh Hilyah Thalibil Ilmi, yang diterbitkan oleh Mu’asasah Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, halaman 255)
6. Berburuk sangka terhadap diri sendiri namun berbaik sangka kepada orang lain agar terhindar dari mencela mereka.
Seorang penuntut ilmu wajib menjauhkan dirinya dari berburuk sangaka kepada orang lain. Yang seharusnya dilakukan olehnya adalah berburuk sangka kepada dirinya sendiri. Karena nafsu (jiwa) seseorang itu seringkali menipunya atau bahkan memerintahkan kepada keburukan.
Jika kita berburuk sangka (su’udzan) kepada orang lain maka biasanya akan timbul kecurigaan dan tuduhan yang macam-macam kepadanya. Padahal hal tersebut belum tentu benar adanya. Maka yang terbaik adalah kita tidak berburuk sangka kepadanya agar terhidar dari mencelanya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman jauhilah kebanyakan buruk sangka (kecurigaan), karena sebagian buruk sangka itu dosa.” (QS al-Hujurat [49]: 12)
Hukum asalnya adalah kita harus berbaik sangka (husnudzan) kepada orang lain dan sebisa mungkin kita memberikan udzur terhadap kesalahan yang mungkin ada padanya. Namun pada suatu kondisi kita diperbolehkan untuk berburuk sangka kepadanya jika memang dia berhak untuk itu. Misalnya orang tersebut terlihat sekali dan sudah dikenal memiliki sifat jahat kepada orang lain, maka dalam kondisi tersebut kita boleh berburuk sangka kepadanya agar kita terhidar dari kejahatannya.
Demikianlah enam hal yang merupakan tanda-tanda ilmu yang bermanfaat yang disampaikan oleh Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah. Apakah tanda-tanda tersebut ada pada diri kita? Jika belum maka marilah kita mengusahakannya mulai dari sekarang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan kepada kita beberapa doa yang bisa membantu kita untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan dijauhkan dari ilmu yang tidak bermanfaat, di antara doa tersebut adalah:
اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْماً نَافِعاً، وَرِزْقاً طَيِّباً، وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً
“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepadaMu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan amal yang diterima.” (HR Ibnu as-Sunni dan Ibnu Majah)
اللّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ، وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ، وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari jiwa yang tidak pernah kenyang, dan dari doa yang tidak dikabulkan.” (HR Muslim)
Semoga Allah Ta’ala menjadikan setiap ilmu yang kita miliki adalah ilmu yang bermanfaat. Aamiin
Oleh: Muadz Mukhadasin
Referensi:
– Syarh Hilyah Thalibil Ilmi, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
– Kitabul Ilmi, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
– Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani
– Shahih Muslim, Imam Abul Husain Muslim an-Naisaburi
– Riyadhus Shalihin, Imam an-Nawawi
– Hisnul Muslim, Syaikh Sa’id bin Wahf al-Qahthani
– Dan yang lainnya